"Mengapa kau lantas berubah?" tanyaku perlahan menahan getir dibibir.
"Bukan aku yang berubah tapi kamu!" bentak dia seakan menampakkan sorot mata yang tegas akan perkataannya.
"Apa yang kamu nilai, sehingga kamu mengatakan akulah yang berubah?" tanyaku masih ingin menemukan jawaban pastimu.
"Bodoh! Aku ingin kau pergi ! Cari kebahagiaanmu sana! Bukan aku !" jawabnya seakan begitu ringan tanpa dipirkirkan begitu matang oleh otaknya.
"Tapi aku sayang sama kamu, kamu kebahagiaan aku" kucoba genggam tangannya untuk menahan langkahnya.
"Kebahagiaan kamu bukan aku! Pergilah!" dengan kasarnya dia hentakkan tangannya agar terbebas dari genggamanku.
Perlahan-lahan dia meninggalkanku dalam kondisi seperti ini, meninggalkanku tanpa perasaan bersalah sama sekali. Meninggalkanku dengan duka dan lara. Dan herannya, aku hanya bisa menatapnya, menatap kepergiannya, hingga langkah kakinya mengantarkannya pergi menjauh dan semakin menjauh, hingga sorot mataku tak dapat lagi menemukan sosoknya didepanku. Kurasa bayangan dia semakin pergi menjauh dalam gelapnya malam dan rintikan hujan.
Namun, kurasakan airmata ini kembali menggenang dalam pelupuk mata. Terjun dengan bebasnya membasahi pipi ini. Aku benci kondisi ini. Ketika aku begitu terlihat rapuh atasnya. Semua tulang-tulang kakiku seakan tiba-tiba merasa mengerang hebat dan rapuh membuatku perlahan-lahan jatuh kelantai jalan saat itu. Aku menangis lagi. Untuk kesekian kalinya atas perlakuannya. Aku selalu berusaha mencoba terlihat kuat namun semuanya nihil.
Kumerasakan aku tak pernah pantas untuknya, aku tak pernah pantas mencintainya. Namun, mengapa Tuhan begitu tak adil harus mempertemukanku dengannya ?
Tangis ini semakin dengan bebasnya terjun mengalir dipipi, semakin lama semakin basah, semakin lama pula aku merasa lelah atas semua ini. Kukumpulkan seluruh sisa-sisa tenaga yang masih ingin membuatku bangkit dan kembali kerumah untuk meneruskan semua derai tetesan air mata ini. Walaupun aku tahu bukan mudah untuk dilakukan.
Kulihat bingkai foto itu mengabadikan dengan indahnya momen kebersamaan kita, senyuman rileks yang terlihat jelas di kedua bibir kita. Itu terlihat sinkron sekali dengan apa yang terjadi sekarang. Kulihat seisi ruangan kamarku yang penuh dengan kenangan-kenangan kita. Aku menemukan sosok liontin itu, liontin pengikat aku dan kamu. Pecah sudah semua derai air mata ini. Melihatmu memutuskan untuk pergi menjauh, dan jauh sejauh mungkin. Meninggalkanku dengan sisa-sisa kenangan yang pernah kita ukir berdua dengan indahnya tanpa ada satupun tetesan tinta yang mengotorinya. Sungguh kumerindukan hal itu.
Sehari setelah kejadian semalam aku semakin terpuruk. Terpuruk dengan suasana yang pernah kau ciptakan. Kulihat foto indahmu, senyuman itu yang paling kusukai, ketegasanmu yang selalu kurindui. Kuperhatikan setiap lekuk demi lekuk bentuk wajahmu, membuat darah mendesir dengan hebatnya. Andaikan kau disini, menemaniku dalam keadaan ini. Memberikan pundakmu untuk mengungkapkan semua rasa pilu yang menyerang lubuk hati ini. Andaikan.
Kriiinggg !!!
Kucoba bangkit dan mencari dimana sumber bunyi itu berada, kuambil sebuah handphone kesayanganku , disitu tertera nama Eliya sahabatku yang paling bisa mengerti keadaanku tanpa harus aku kabari.
"Wi, kamu enggak papa kan?" tanyanya dengan penuh kecemasan.
"Aku sama Andri el, aku aku" seakan bibir ini terkunci rapat untuk mengucapkan kabar tersebut.
"Kamu kenapa Wi? kamu cerita dong ke aku" sontak Eliya kaget mendengar hisakan tangis
"Andri, enggak pernah sayang el sama aku. Dia ninggalin aku.." jawabku dengan sesenggukan tangis.
"APAAAA???!! Andri kek gitu?" teriak nada kaget si Eliya.
"Iya el, aku kecewa sama dia.Kecewa banget" kataku sambil mengalir terus air mata ini
"Kamu sabar ya, sekarang kamu tenangin diri kamu dulu. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa" jawab Eliya seakan menenangkanku.
Malam ini hujan deras seakan menjadi saksi betapa sakitnya hati ini. Betapa pilunya mencintai dirinya. Betapa malangnya harus bertemu dengannya dalam keadaan seperti saat ini. Kamu membuatku hancur berantakkan. Menghempaskan segala impian-impian yang pernah kurajut bersamamu dengan indahnya. Melupakan segala ukiran kenangan manis, yang pernah kau bangun bersamaku. Kau benar-benar gila !
Disini aku bagaikan sosok seonggok pungguk yang merindukan sang bulan didalam kesunyian malam, bertautan dengan suara gemericik air hujan. Kamu tak pernah tahu kondisi ini. Yang ada, hanya kamu yang melihatku lemah, yang melihatku riang. Tapi kamu tak pernah mencoba untuk melihatnya lebih dalam dan dalam lagi. Karena disitu goresan lukalah yang menghiasi, yang harusnya kamu lihat ! Bukan keadaan seperti ini yang kamu lihat.
Apa memang semua ini karena aku yang memaksamu untuk tetap menjaga cinta yang pernah kau tawarkan ? Hingga semua penawar itu menjadi racun yang menyakitkan bagi seonggok tubuh mungil tak berdaya ini? Apa itu tujuan dari semua tawaranmu? Melihatku kembali sakit dan merasakan sakit lama itu. Karena kamu tak pernah mencoba mulai memahami bagaimana kita, kita yang pernah membangun semua ini. Baiklah, cukup lelah aku merasakan semua ini. Memilih mundur darimu yang tak pernah mengasihiku dengan tulus itu menyakitkan tapi itu pilihan yang terbaik. Daripada mencoba memperjuangkanmu dengan kebodohan ini. Semuanya lebih akan menyakitkan.
Selamat menemukan, sesosok yang pantas untukmu disana kasih. Bukan aku yang pantas.
Kulihat bingkai foto itu mengabadikan dengan indahnya momen kebersamaan kita, senyuman rileks yang terlihat jelas di kedua bibir kita. Itu terlihat sinkron sekali dengan apa yang terjadi sekarang. Kulihat seisi ruangan kamarku yang penuh dengan kenangan-kenangan kita. Aku menemukan sosok liontin itu, liontin pengikat aku dan kamu. Pecah sudah semua derai air mata ini. Melihatmu memutuskan untuk pergi menjauh, dan jauh sejauh mungkin. Meninggalkanku dengan sisa-sisa kenangan yang pernah kita ukir berdua dengan indahnya tanpa ada satupun tetesan tinta yang mengotorinya. Sungguh kumerindukan hal itu.
Sehari setelah kejadian semalam aku semakin terpuruk. Terpuruk dengan suasana yang pernah kau ciptakan. Kulihat foto indahmu, senyuman itu yang paling kusukai, ketegasanmu yang selalu kurindui. Kuperhatikan setiap lekuk demi lekuk bentuk wajahmu, membuat darah mendesir dengan hebatnya. Andaikan kau disini, menemaniku dalam keadaan ini. Memberikan pundakmu untuk mengungkapkan semua rasa pilu yang menyerang lubuk hati ini. Andaikan.
Kriiinggg !!!
Kucoba bangkit dan mencari dimana sumber bunyi itu berada, kuambil sebuah handphone kesayanganku , disitu tertera nama Eliya sahabatku yang paling bisa mengerti keadaanku tanpa harus aku kabari.
"Wi, kamu enggak papa kan?" tanyanya dengan penuh kecemasan.
"Aku sama Andri el, aku aku" seakan bibir ini terkunci rapat untuk mengucapkan kabar tersebut.
"Kamu kenapa Wi? kamu cerita dong ke aku" sontak Eliya kaget mendengar hisakan tangis
"Andri, enggak pernah sayang el sama aku. Dia ninggalin aku.." jawabku dengan sesenggukan tangis.
"APAAAA???!! Andri kek gitu?" teriak nada kaget si Eliya.
"Iya el, aku kecewa sama dia.Kecewa banget" kataku sambil mengalir terus air mata ini
"Kamu sabar ya, sekarang kamu tenangin diri kamu dulu. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa" jawab Eliya seakan menenangkanku.
Malam ini hujan deras seakan menjadi saksi betapa sakitnya hati ini. Betapa pilunya mencintai dirinya. Betapa malangnya harus bertemu dengannya dalam keadaan seperti saat ini. Kamu membuatku hancur berantakkan. Menghempaskan segala impian-impian yang pernah kurajut bersamamu dengan indahnya. Melupakan segala ukiran kenangan manis, yang pernah kau bangun bersamaku. Kau benar-benar gila !
Disini aku bagaikan sosok seonggok pungguk yang merindukan sang bulan didalam kesunyian malam, bertautan dengan suara gemericik air hujan. Kamu tak pernah tahu kondisi ini. Yang ada, hanya kamu yang melihatku lemah, yang melihatku riang. Tapi kamu tak pernah mencoba untuk melihatnya lebih dalam dan dalam lagi. Karena disitu goresan lukalah yang menghiasi, yang harusnya kamu lihat ! Bukan keadaan seperti ini yang kamu lihat.
Apa memang semua ini karena aku yang memaksamu untuk tetap menjaga cinta yang pernah kau tawarkan ? Hingga semua penawar itu menjadi racun yang menyakitkan bagi seonggok tubuh mungil tak berdaya ini? Apa itu tujuan dari semua tawaranmu? Melihatku kembali sakit dan merasakan sakit lama itu. Karena kamu tak pernah mencoba mulai memahami bagaimana kita, kita yang pernah membangun semua ini. Baiklah, cukup lelah aku merasakan semua ini. Memilih mundur darimu yang tak pernah mengasihiku dengan tulus itu menyakitkan tapi itu pilihan yang terbaik. Daripada mencoba memperjuangkanmu dengan kebodohan ini. Semuanya lebih akan menyakitkan.
Selamat menemukan, sesosok yang pantas untukmu disana kasih. Bukan aku yang pantas.
No comments:
Post a Comment