*****
Hari yang indah begitu langit sekiranya membiru muda. Awan seakan menggumpal memutih berderet-deret, bergandengan satu sama lain. Mereka begitu padu. Indah untuk menjadi pandangan sepasang mata. Sayangnya semuanya tak sejalan dengan peristiwa yang terjadi hari itu. Sepasang kekasih yang selalu dinilai begitu romantis dan begitu damai, ternyata tak selamanya sempurna. Tak selamanya semua berjalan begitu mulus, semulus jalan beraspal.
"Aku udah enggak ngebutuhin kamu, kamu itu selalu enggak mau nurutin apa yang aku pengenin. AKU ENGGAK BUTUH KAMU!" kata Andra bernada membentak.
Hubungan yang mereka jalin tak begitu singkat, tak begitu mudah. Jalan berkelok-kelok selalu menjadi rintangan yang begitu tajam. Semakin lama semakin tajam pula rintangan yang mereka lalui. Seperti halnya ketika kita menuju suatu daratan tinggi sebut saja gunung. Semakin kita naik, semakin lama waktu yang kita butuhkan, semakin tinggi dan semakin curam ketika kita melihat kebawah. Dari mulai merasa bosen, mulai merasakan tak nyaman dan mulai egois bersaing ketat. Dua tahun, butuh berjuta detik, beribu menit dan beratus hari. Semuanya tak pernah mudah.
"Tapi, aku selalu berusaha untuk mencoba jadi yang terbaik buat kamu sayang" buliran air mata seakan tak dapat dihentikan.
"Lepaskan ! Pergilah. Aku tak pernah membutuhkanmu !" hentakan tangan, mulai melepas genggaman Rita sang kekasihnya.
Terjatuhlah Rita, tersungkurlah dia dijalanan. Begitu semakin deras buliran demi buliran yang mengalir leluasa dipipinya. Membasah tanpa memberi kesempatan untuk kering terlebih dahulu, karena susulan demi susulan air mata seperti tak berjeda. Sesak dan perih. Hanya itu yang dapat dirasakan Rita saat itu.
Andra melangkah begitu tangkas, begitu banci. Tanpa berkutik, tanpa rasa belas kasihan. Hanya amarah yang menguasainya saat itu. Jika banyak orang yang melihatnya, Andra bakal menjadi lelaki terkutuk yang pernah Tuhan ciptakan. Lelaki yang tak punya akal tak punya hati.
Dengan begitu tertatih, Rita berdiri, menahan semuanya yang telah menyesakkan hatinya. Cintanya yang begitu tulus seakan mulai menjadi ganas dan menggerogoti ketulusan itu. Semakin lama semakin berasa menyakitkan. Apakah ini? Apakah ini kebodohan dari ketulusan? Dia mulai tak mengerti. Berjalan dengan terseyok-seyok menuju rumah, menuju kamar, menuju tempat dia dapat mencurahkan semuanya. Mencurahkan rasa sakitnya, dan menghempaskan segala bebannya dalam keheningan ke alam dunia ini. Ke alam fana ini.
Namun langkah kakinya terhenti ketika dia melihat bangku. Begitu sepi tanpa penghuni. Dia hanya ingin mencurahkan semuanya. Dia ingin menuliskan beribu kata-kata yang tak bisa terungkapkan dalam hatinya. Semuanya berusaha membobol tapi apa daya, bibir tak mampu berucap. Semuanya semu, semuanya percuma.
Tangannya mulai mencari-cari dalam tas selempangnya buku pink, buku penuh ungkapan hatinya. Tertulis dalam halaman pertama "Aku tahu cinta itu pasti yang selalu membuat kita semakin padu, konflik itu hanyalah sebagai bumbu kepaduannya". Tangannya mulai lihai menitikkan tinta-tinta dalam garis-garis buku itu. Sesambi air mata tetaplah turun dengan leluasanya. Beberapa menit tulisannya yang begitu panjang mulai selesai. Matanya mulai lelah. Dan dia bangkit dari bangku itu. Berjalan dan berjalan.
Matanya semakin lelah, kepalanya semakin tak dapat diajak untuk berkompromi. Hujan mulai turun rerintikan demi rerintikan. Seakan menutupi linangan air mata yang terus mengalir tiada henti. Hati enggan diajak kompromi. Semuanya seakan tak mau lagi diatur oleh sistem terarah. Jalanan malam mulai tak terlihat begitu jelas olehnya. Hingga bunyi klakson begitu keras berbunyi. Namun sayang semuanya terlambat, begitu cepat sekali mobil itu melintas, menyenggol tubuh Rita yang sudah lemah. Rita pun sudah tak berdaya untuk kembali minggir. Semuanya terlambat. Tubuhnya terguling-guling hingga beberapa meter. Darah mulai mengalir dari bagian kepalanya. Hujan seakan mencoba menutupi nya. Namun semua percuma. Darah tetap mengalir lebih deras. Rita tak tersadar.
***
Rumah sakit Cempaka , bangsal Puri No 3.
Begitu tergeletak lemas sesosok gadis, begitu cantik. Senyumnya begitu tulus, beda sekali dengan mimik yang ia tampilkan semalam.Begitu pucat dan begitu larut dalam kesedihan.
Keluarga berharap-harap cemas dengan kondisi sang gadis, sudah sehari gadis itu tak menandakan semakin baik. Namun kondisinya semakin mencemaskan. Semakin memburuk. Detak jantungnya mulai tak stabil. Gadis itu sedang tahap koma. Sungguh mengenaskan.
Sedangkan dibelahan sudut sana, laki-laki tak punya otak itu masih saja memikirkan keegoisan dirinya. Amarah masih saja menggerogoti rasa sayang yang sebenarnya begitu besar untuk kekasihnya. Namun sayang, egoisnya terlalu tinggi. Atau hanya kebodohannya yang lebih tinggi? Entahlah.
Begitu lemah tak berdaya gadis yang berparas cantik itu. Hari demi hari dia lewati dengan begitu sayangnya. Hanya menutup mata tanpa kembali melihat indahnya dunia, tanpa kembali melihat seringainya mentari. Semuanya percuma.
Lima hari Andra mulai lelah dengan kondisinya yang seperti ini. Dia mulai rindu,sapaan manja kekasihnya.Dia mulai rindu senyuman penyejuk hatinya. Bahkan dia mulai rindu ketika yang berada disampingnya, yang paling mengerti dia hanyalah kekasihnya. Mengapa dia begitu bodoh malam itu. Menghempaskan genggaman hangat, meluluhlantakkan harapan demi harapan yang pernah mereka bangun bersama. Semuanya hilang, semuanya pergi dengan begitu cepat, begitu lantang. Andra mulai merasakan bagaimana bodohnya dirinya. Dia sadar, Rita memang yang dia butuhkan, Rita memang yang dia perlukan.
Buru-buru dia merogoh kantongnya mencari ponselnya memencetkan huruf untuk mencari nama sang kekasih. Dia pencet memanggil, nada panggilan mulai terdengar. Begitu harap-harap cemas yang ia rasakan. Semuanya karena kebodohannya. Terkutuklah dia. Namun beberapa panggilan tak ada 1 pun yang mendapatkan respon. Dan sayangnya pikirannya terlalu pesat! Dia hanya berfikir "mungkin Rita butuh waktu untuk sendiri" tanpa bertingkah untuk meminta maaf ataupun mengembalikan semuanya seperti semula. Namun semuanya takkan kembali dengan sempurna. Paling tidak untuk memperbaiki hubungan yang telah mereka perjuangkan.
**
Sehari telah Andra lewati (kembali) tanpa sesosok penyemangatnya, Rita. Sehari pula telah Rita lewati (kembali) hanya dengan terbaring lemah dirumah sakit. Belum sadar lebih tepatnya.
Pagi itu matahari menyapa dengan begitu teganya, sinarnya tak tanggung-tanggung menyelinap kedalam celah-celah jendela kamar Andra. Bebarengan dengan deringan handphone yang nada deringnya bukan membuktikan sebagai nada tanda alarm berbunyi, melaikan sebuah panggilan dari ujung sana entah dari siapa. Tertera nama "Nisa" sahabat karib Andra semenjak SD, mereka saling mengenal dan memahami. Termasuk hubungan Andra dengan Rita. Sangat mendapat dukungan yang begitu dahsyat darinya.
"Halooo? Ada orang disana?" cerocos Nisa
"Iya Nis gue denger"
"Gue turut berduka cita ya bro, kenapa sih kamu enggak ngabarin aku?" nada lemas Nisa mulai nampak
"maksud kamu?" suara parau bangun tidur pun yang Nisa dengar
"Rita sakit kan? Dia dirumah sakit kan?"
"APA??!!"
"Kamu ini pacarnya Rita kan? dan lo enggak tau Rita lagi koma dirumah sakit?" tanya Nisa penuh kaget.
Andra yang tadinya masih bergelayut manja ditempat tidurnya pun terbangun dengan reflek "Dia dirumah sakit mana !" tanya Andra terbirit-birit mencarii kunci mobilnya.
"Dia di Rumah Sakit Cempaka , bangsal Puri No 3."
Tanpa ada jawaban dari Andra. Ponsel nya pun ia matikan. Dia turun menuju garasi dan masuk kedalam mobilnya, menuju kerumah sakit. Dengan begitu tergesa-gesa dan mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Akhirnya Andra sampai juga didepan kamar Rita.
Tanpa ada jawaban dari Andra. Ponsel nya pun ia matikan. Dia turun menuju garasi dan masuk kedalam mobilnya, menuju kerumah sakit. Dengan begitu tergesa-gesa dan mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Akhirnya Andra sampai juga didepan kamar Rita.
Terlihatnya dari kedua pasang bola matanya, sesosok penyemangatnya begitu lemah terbaring. Begitu hilang semua kegembiraan yang selalu mereka lewati bersama. Semuanya pudar dan punah begitu saja. Dengan hati-hati dia mulai mendekat ketempat dimana Rita terbaring lemas. Derai airmata penyesalan mulai ia rasakan. Kebodohan yang menggerogoti hatinya pun mulai membuatnya semakin merasa tak berguna. Semuanya terlambat. Ketika cinta itu mulai menyakitkan dan mulai menjadi racun untuk sang penikmat. Ketika kemanisan dari gula murni berubah menjadi kemanisan atas gula sakarin, begitu manis sayang sangat beracun amat sangat meracuni seluruh organ tubuh.
Jari-jari yang begitu lemas terkulai tak dapat lagi menggenggam. Tak seperti malam itu, genggaman begitu tulus, hanya hentakan kasar yang dapat Andra lakukan sebagai balasannya. Sedangkan sekarang? Genggaman itu berasa berbeda, hanya tangan lemah yang tak dapat menggenggamnya kembali, menahannya, memberikan kehangatan kembali.
Namun,kedatangan Andra seakan membawa kabar baik. Keadaan Rita pun mulai membaik.Rita kembali sadar. Kelopak matanya yang indah terbuka seikit demi sedikit. Tangannya mulai mencengkeram tangan Andra. Andra yang melihat reaksi ini pun mulai menampakkan kebahagiaan yang tak terkira dalam raut wajahnya. Namun semuanya hanya kebahagiaan sementara.
"Aku siapa? Aku dimana?" kalimat itu yang muncul dalam ucapan pertama kalinya si Rita
Bagaikan badai yang datang disaat siang bolong seperti ini. Bagaikan hembusan angin topan yang menyatukan awan-awan menjadi satu. Membuat satu gumpalan berwarna gelap. Pratanda hujan akan turun. Pratanda ribuan petir siap meneriakkan gemetirnya ditelinga kita.
Dan hal yang lebih menyakitkan untuk Andra adalah, ketika Rita mulai tak mengenali dirinya, tak mengenali cinta mereka, tak mengenali dirinya sendiri. Begitu menyakitkan dan begitu menyesakkan. Semuanya memang benar-benar terlambat.
Hari demi hari, mulai Andra ingatkan kembali tentang ketulusan cinta diantara mereka. Tetapi apa hasilnya? Semuanya begitu nihil. Rita benar-benar lupa. Bahkan Tuhan sengaja membuatnya lupa atas masalahnya yang begitu berat menimpa gadis lemah ini.
"Ndra?" panggil Ibu Rita
"Iya Tante" jawab Andra mendekati
"Kamu yang sabar ya" *menepuk punggung Andra*
"Iya Tante,pasti. Andra enggak bakal nyerah" semangat Andra yang begitu membara mulai nampak
"Oh iya, ini tante temukan didalam tasnya Rita" sambil menyerahkan buku pink itu.
"Ini apa Tante?" tanya Andra penasaran
"Coba kamu lihat sendiri isinya"
"Baiklah tante"
"Baiklah tante"
Mama Rita akhirnya meninggalkan Andra sendiri diteras rumahnya. Andra yang penasaran dengan isi dalam buku itu, mulai dia buka lembar demi lembar tulisan indah tangan Rita. Namun dia berhenti pada halaman kelima buku itu.
Bagaimana jika cinta itu mulai menjadi racun? Racun akan ketulusan yang pernah kita perjuangkan? Hai Andra, aku merindukanmu. Tapi apakah cinta kita, cinta aku dan kamu masih pantas? Masih pantas untuk diperjuangkan kembali. Tapi ! Aku yakin. Cinta kita padu-kan? Kamu semangat aku dan aku semangat kamu kan? Bilang iya ke aku. Hari-hariku bagaikan pelangi penuh warna penuh makna. Kamu warna, kamu makna. Walaupun kurasa cinta ini mulai berbeda, atau mungkin mulai memudar. Yakinlah kita insan ciptaan Tuhan. Kita disatukan pula oleh Tuhan. Kamu pendampingku.
Kata-kata itu dapat kembali menyeruakkan derai air mata Andra. Lembar demi lembar mulai kembali dia buka. Tepat pada tulisan Rita malam itu. Ia mulai membaca kembali
Malam ini hentakan kasar seakan memecah seluruh angkasa. Meluluh lantakkan smua mimpi yang pernah kita bangun bersama. Namun, apakah kamu ingat semua itu? Bahkan aku yang telah berstatus menjadi pacar kamu saja, merasakan bahwa aku mulai tak pantas lagi berada disampingmu, tak pantas lagi menemani hari-harimu. Jika Tuhan mengijinkan, aku ingin pergi jauh dari dunia ini. Jauh dari mimpi-mimpi kita. Mencintaimu dengan tulus, bahkan seakan menjadi titik hitam dalam kertas hitam. Tak nampak kasat mata didepanmu. Padahal kehadirannya selalu berpadu denganmu. Inikah rasa kebodohan akan cinta? Atau inikah akhir dari semua perjuangan kita? Ijinkan aku untuk menghapus semuanya. Semua kenangan yang terlalu manis ini. Ijinkan aku pergi malam ini..
Andra mulai mengerti, betapa sikap bodohnya merubah segalanya merubah kekasihnya menjadi pergi, benar-benar pergi dari kebahagiaannya.
"Andaikan aku sudah tahu dari dulu, beginilah rasanya mencintai yang tak dianggap. Mencintai secara semu begitu menyakitkan. Aku takkan pernah melakukan tindakan bodoh. Membuatmu hilangkan semua senyum manis, semua kenangan indah. Semua perjuangan indah. Andaikan aku bisa mengulang waktu, disaat kau mulai genggam erat tanganku. Hanya satu pelukan yang akan kulakukan untuk membalasnya dan berkata *Jangan pernah mencoba untuk pergi, Sayang*"
--END--
Gimana? Kasih koment dibawah ini yaa :) maaf cuman 1 jam bikinnya :)
No comments:
Post a Comment